
Jakarta, 12 Juni 2025 –
Seorang mantan pejabat di lingkungan Mahkamah Agung (MA) menjadi sorotan publik setelah penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan aset senilai lebih dari Rp 1 triliun yang diduga berasal dari hasil tindak pidana korupsi. Dalam proses pemeriksaan, pejabat tersebut berdalih bahwa akumulasi harta kekayaannya terjadi karena kelalaian dalam melaporkan, bukan karena perbuatan melawan hukum.
Aset Fantastis yang Diungkap
Berdasarkan temuan awal KPK, kekayaan yang terungkap meliputi:
-
Tanah dan properti mewah di beberapa kota besar, termasuk Jakarta, Bandung, dan Bali.
-
Koleksi mobil mewah, termasuk kendaraan impor langka.
-
Emas batangan dan perhiasan bernilai tinggi.
-
Rekening bank dan investasi dalam bentuk saham serta aset kripto.
-
Dugaan kepemilikan beberapa perusahaan cangkang di luar negeri.
Total nilai kekayaan sementara yang berhasil dilacak mencapai lebih dari Rp 1 triliun.
Dalih “Kelalaian Administratif”
Dalam keterangannya kepada penyidik, eks pejabat MA tersebut mengaku bahwa tidak semua harta yang dimilikinya dilaporkan dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), namun ia berdalih bahwa hal itu terjadi karena kelalaian administratif, bukan niat jahat.
“Saya tidak sengaja tidak melaporkan beberapa aset. Itu karena kelalaian saya, bukan karena saya berniat menyembunyikan kekayaan,” ujarnya kepada penyidik, seperti dikutip dari sumber internal KPK.
Namun KPK menilai bahwa pembelaan tersebut tidak sejalan dengan pola transaksi keuangan kompleks dan rekayasa dokumen yang ditemukan dalam proses penyelidikan.
KPK: “Ini Bukan Sekadar Lalai”
Wakil Ketua KPK menyampaikan bahwa pihaknya telah mengantongi cukup bukti untuk menyatakan bahwa terjadi upaya sistematis untuk menyamarkan asal usul kekayaan tersebut.
“Bila seseorang menyembunyikan aset di rekening atas nama orang lain, mengalirkan dana lewat perusahaan cangkang, dan membeli properti dengan nama fiktif, ini bukan sekadar kelalaian. Ini adalah rekayasa,” ujarnya dalam konferensi pers.
Tanggapan Publik dan Pakar Hukum
Kasus ini memicu kemarahan publik, terutama karena yang bersangkutan berasal dari institusi peradilan tertinggi di negara ini. Banyak pihak menilai bahwa integritas lembaga peradilan tercederai oleh kasus ini.
Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Prof. Dr. Arief Wibowo, menilai bahwa alasan “lalai” tidak dapat dijadikan pembelaan dalam kasus akumulasi kekayaan tidak wajar.
“Lalai bisa terjadi sekali. Tapi kalau asetnya triliunan dan tidak dilaporkan bertahun-tahun, itu sudah masuk unsur kesengajaan atau minimal kelalaian berat yang punya konsekuensi hukum,” ujarnya.
Langkah Lanjut
KPK telah menetapkan status eks pejabat MA tersebut sebagai tersangka dan menjeratnya dengan Pasal Tindak Pidana Korupsi dan Pencucian Uang (TPPU). Penyitaan aset juga akan terus berlanjut, termasuk kemungkinan menggandeng PPATK dan lembaga keuangan internasional untuk pelacakan dana lintas negara.
Penutup
Kasus ini menjadi pengingat bahwa transparansi dan integritas di lembaga peradilan adalah kunci kepercayaan publik. Publik kini menantikan langkah tegas dari aparat penegak hukum, agar tidak ada lagi celah bagi pejabat untuk memperkaya diri dengan dalih “lalai”.