
Konflik di Jalur Gaza kembali memasuki babak yang lebih mengerikan. Dalam 24 jam terakhir, sedikitnya 42 warga Palestina dilaporkan tewas akibat serangan udara dan darat oleh militer Israel yang terus menggempur wilayah padat penduduk itu. Serangan ini memperpanjang deretan kekerasan yang sudah berlangsung selama berbulan-bulan, dan memperdalam krisis kemanusiaan di wilayah yang telah lama terkepung.
Laporan dari berbagai rumah sakit dan lembaga kemanusiaan menyebutkan bahwa mayoritas korban adalah warga sipil, termasuk perempuan dan anak-anak. Suara ledakan bergema tanpa henti, sementara langit Gaza kembali dipenuhi asap hitam dan cahaya oranye dari rudal yang melesat malam hari.
Target Militer atau Sipil? Batas yang Makin Kabur
Militer Israel mengklaim serangan tersebut menargetkan infrastruktur militan Hamas dan Jihad Islam, termasuk terowongan bawah tanah, gudang senjata, dan pusat komando. Namun, kenyataannya di lapangan menunjukkan bahwa bangunan sipil seperti rumah, sekolah, dan fasilitas kesehatan turut menjadi sasaran.
Sejumlah video amatir yang beredar menunjukkan kehancuran total di lingkungan permukiman Khan Younis dan Rafah. Tangisan anak-anak yang tertimbun reruntuhan, warga yang menggali puing-puing dengan tangan kosong, serta ambulans yang kehabisan bahan bakar menjadi gambaran nyata betapa mencekam situasi di Gaza saat ini.
RS Penuh, Tim Medis Kewalahan
Rumah sakit-rumah sakit utama seperti Shifa Hospital di Gaza City dilaporkan berada di ambang kolaps. Persediaan medis menipis drastis, dan listrik hanya tersedia beberapa jam per hari. Tim medis bekerja 24 jam nonstop, bahkan melakukan operasi tanpa anestesi yang cukup.
“Ini bukan hanya krisis perang, ini sudah menjadi bencana kemanusiaan besar-besaran,” kata seorang dokter sukarelawan dari LSM internasional. “Kami tidak bisa membedakan siapa yang lebih dulu harus diselamatkan, karena semuanya terluka parah.”
Reaksi Dunia: Kutukan, Tapi Minim Tindakan
Masyarakat internasional kembali bersuara, tetapi belum ada langkah konkret yang menghentikan gempuran ini. PBB mengeluarkan pernyataan keras, mendesak gencatan senjata segera dan akses kemanusiaan tanpa syarat. Negara-negara seperti Turki, Iran, dan beberapa anggota Uni Eropa mengecam keras tindakan Israel.
Namun di sisi lain, dukungan politik dan militer dari negara besar seperti Amerika Serikat kepada Israel masih terus berlanjut, membuat banyak pihak meragukan efektivitas tekanan diplomatik.
Warga Gaza: “Kami Sudah Lelah Hidup dalam Ketakutan”
Bagi warga Gaza, ini bukan pertama kalinya mereka harus bertahan dalam hujan bom. Namun kali ini, intensitas serangan dianggap paling brutal sejak 2014. Puluhan ribu orang kini mengungsi, sebagian besar tanpa akses makanan, air bersih, dan sanitasi.
“Setiap malam kami tidur dengan harapan bisa bangun kembali. Tapi suara pesawat tak pernah pergi. Anak-anak kami tak lagi tahu apa itu damai,” ujar seorang ibu yang selamat dari serangan di Rafah.
Seruan Gencatan Senjata Menggema
Aktivis, LSM, dan kelompok sipil di seluruh dunia menggelar aksi solidaritas, dari London, Paris, Jakarta, hingga New York. Tagar seperti #FreeGaza, #StopTheWar, dan #SavePalestine kembali trending di berbagai platform sosial media. Petisi-petisi untuk menghentikan penjualan senjata ke Israel ditandatangani oleh jutaan orang.
Apa Selanjutnya?
Tanpa tanda-tanda gencatan senjata dalam waktu dekat, situasi di Gaza diperkirakan akan semakin memburuk. Militer Israel menyatakan “operasi masih akan berlanjut selama diperlukan,” sementara kelompok perlawanan Palestina juga meluncurkan serangan balasan ke wilayah Israel selatan.
Kehancuran demi kehancuran terus terjadi. Dunia hanya bisa berharap, bahwa tekanan internasional dan kesadaran kemanusiaan mampu menghentikan siklus kekerasan ini sebelum lebih banyak nyawa melayang.
Penutup
Gaza kembali menjadi medan penderitaan. Dalam satu hari, 42 nyawa hilang, ratusan terluka, dan jutaan lainnya hidup dalam bayang-bayang maut. Ketika dunia sibuk berdebat tentang siapa yang salah dan benar, realita di lapangan adalah derita manusia yang tak berkesudahan. Saatnya suara kemanusiaan lebih keras dari senjata.