
Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak lima gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). Penolakan ini menegaskan bahwa pasal-pasal yang dipersoalkan para pemohon tetap dianggap konstitusional dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Namun, banyak pihak mempertanyakan dasar penolakan tersebut, terutama menyangkut peran TNI di luar pertahanan negara.
Berikut penjelasan lengkap mengenai isi gugatan, argumen pemohon, serta alasan MK tidak menerima permohonan.
Latar Belakang Gugatan
Sejak beberapa tahun terakhir, sejumlah kalangan sipil dan aktivis demokrasi mengkritisi berbagai pasal dalam UU TNI yang dianggap membuka peluang keterlibatan militer di ranah sipil. Mereka menilai beberapa ketentuan dalam UU tersebut tidak sejalan dengan prinsip supremasi sipil dan reformasi sektor keamanan.
Kelima permohonan uji materi ini diajukan oleh berbagai pihak, termasuk aktivis HAM, LSM, akademisi, hingga tokoh masyarakat sipil.
Pasal-Pasal yang Digugat
Beberapa pasal dalam UU TNI yang menjadi sasaran gugatan antara lain:
-
Pasal 7 ayat (2) – yang mengatur tugas pokok TNI dan peran Operasi Militer Selain Perang (OMSP).
-
Pasal 47 ayat (2) – terkait jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit aktif.
-
Pasal 14 dan 15 – tentang pengangkatan dan penempatan personel TNI di jabatan tertentu.
-
Pasal 20 – mengenai kewenangan presiden dalam penggunaan kekuatan TNI.
-
Pasal 16 – yang memberikan ruang pada TNI untuk dilibatkan dalam situasi keamanan dalam negeri.
Para pemohon menilai bahwa pasal-pasal tersebut berpotensi menimbulkan dwifungsi militer secara terselubung.
Alasan Penolakan MK
Setelah melalui proses persidangan dan pertimbangan hukum, MK secara resmi tidak menerima (niet ontvankelijk verklaard) permohonan para pemohon. Dalam amar putusan yang dibacakan secara terbuka, MK menyampaikan beberapa poin utama alasan penolakan:
1. Kedudukan Hukum Pemohon Tidak Kuat
Mahkamah menilai sebagian besar pemohon tidak memiliki legal standing yang kuat. Mereka dianggap tidak bisa membuktikan adanya kerugian konstitusional yang langsung, nyata, dan spesifik akibat pemberlakuan pasal-pasal yang digugat.
2. Dalil Permohonan Bersifat Terlalu Umum
Beberapa dalil yang diajukan pemohon dinilai terlalu abstrak dan umum, sehingga tidak memenuhi syarat sebagai permohonan uji materi. MK mengingatkan bahwa gugatan konstitusional harus bersifat konkrit, bukan hanya potensi kerugian di masa depan.
3. Norma Sudah Jelas dan Tidak Multitafsir
MK menyatakan bahwa pasal-pasal yang digugat memiliki rumusan norma yang cukup jelas, tidak multitafsir, dan telah diatur secara sistematis sesuai dengan kebutuhan pertahanan negara.
4. Pengawasan dan Mekanisme Sipil Masih Ada
Terkait kekhawatiran pemohon atas keterlibatan TNI dalam jabatan sipil, MK menyebutkan bahwa mekanisme pengawasan tetap berada pada otoritas sipil seperti Presiden dan DPR, sesuai prinsip supremasi sipil dalam demokrasi.
5. Tugas OMSP Bukan Pelanggaran Konstitusi
OMSP (Operasi Militer Selain Perang), termasuk bantuan terhadap pemerintah dalam penanggulangan terorisme atau bencana, dianggap sesuai dengan fungsi TNI sebagai penjaga kedaulatan dan stabilitas negara. MK menegaskan bahwa OMSP bukan bentuk penyimpangan peran militer, selama dilakukan atas keputusan politik negara.
Reaksi Publik dan Catatan Aktivis
Putusan MK ini menuai reaksi dari berbagai kalangan masyarakat sipil. KontraS, Imparsial, dan Yayasan LBH Indonesia menyatakan keprihatinan atas penolakan tersebut, yang dianggap sebagai bentuk pembiaran terhadap potensi kembalinya dwifungsi militer dalam ruang sipil.
Sementara itu, pihak TNI menyambut baik keputusan MK. Juru Bicara TNI menyatakan bahwa putusan ini mempertegas legitimasi tugas-tugas TNI dalam menjaga keamanan nasional secara profesional dan sesuai hukum.
Kesimpulan
Putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak lima gugatan terhadap UU TNI menandai posisi tetap negara dalam mengatur peran militer dalam sistem demokrasi Indonesia. Meski begitu, perdebatan tentang batas antara peran militer dan sipil masih akan terus bergulir, terutama dalam konteks reformasi sektor keamanan yang belum sepenuhnya selesai.
Gugatan telah ditolak, tapi wacana tentang penguatan kontrol sipil terhadap militer tetap menjadi isu penting bagi demokrasi Indonesia ke depan.