
Jakarta, 18 Juli 2025 — Mahkamah Konstitusi (MK) resmi menolak gugatan yang menginginkan syarat pendidikan minimal Strata 1 (S-1) bagi calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Dalam putusannya, MK menegaskan bahwa syarat tersebut bukan merupakan bagian dari amanat konstitusi dan berpotensi membatasi hak politik warga negara.
Putusan ini menjadi sorotan publik, terutama di tengah wacana peningkatan kualitas kepemimpinan nasional melalui jalur akademik. MK menilai, UUD 1945 secara eksplisit tidak mengatur batas minimal pendidikan untuk menjadi presiden, dan setiap warga negara yang memenuhi syarat lain seperti usia dan kewarganegaraan tetap berhak mencalonkan diri.
“Persyaratan tambahan seperti pendidikan minimal S-1 adalah ranah pembentuk undang-undang. MK tidak berwenang menambah atau mengurangi syarat yang telah diatur dalam UUD,” ujar Ketua MK dalam sidang pembacaan putusan di Gedung MK, Jakarta.
Legislator: Negara Maju Pun Tidak Wajib S-1
Menanggapi keputusan MK, sejumlah legislator memberikan dukungan dan menyebut putusan ini sebagai bentuk perlindungan terhadap demokrasi yang inklusif. Anggota DPR RI Komisi II, Rino Prasetyo, mengatakan bahwa pendidikan tinggi bukan satu-satunya indikator kapasitas kepemimpinan.
“Banyak negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris tidak mencantumkan syarat gelar sarjana sebagai prasyarat presiden atau perdana menteri. Yang terpenting adalah kapasitas, integritas, dan rekam jejak,” ungkap Rino.
Ia juga menambahkan bahwa dengan menjaga keterbukaan ini, rakyat tetap menjadi penentu utama dalam memilih pemimpin yang dinilai mampu membawa perubahan. “Masyarakatlah yang harus diberikan kepercayaan untuk menilai, bukan sistem yang menyaring terlalu ketat,” lanjutnya.
Reaksi Masyarakat dan Akademisi
Pendapat masyarakat pun terbelah. Sebagian menilai bahwa seorang presiden idealnya memiliki latar belakang pendidikan tinggi demi memahami kompleksitas kebijakan negara. Namun di sisi lain, ada pula yang menilai pengalaman, kepemimpinan, dan empati terhadap rakyat jauh lebih penting dibanding ijazah formal.
Dr. Ratri Ayuningtyas, pakar ilmu politik dari Universitas Indonesia, menyebut bahwa putusan ini menjaga nilai kesetaraan. “Namun, perlu ada upaya lain untuk meningkatkan kualitas pemimpin, misalnya lewat pendidikan politik dan sistem kaderisasi partai yang lebih ketat.”
Penutup
Dengan putusan ini, syarat pendidikan untuk capres dan cawapres tetap mengacu pada ketentuan awal tanpa batasan jenjang akademik. Ke depan, diskursus publik kemungkinan masih akan terus bergulir, terutama menjelang pemilu mendatang, di mana figur-figur potensial dari berbagai latar belakang akan mulai bermunculan.