Ketik Sejarah Indoanesia Diperbaharui: Untuk Legitimasi Sang Pemenang?

Panjangnya memang hanya 30 halaman, tapi dampak dari naskah ini bisa jadi sangat panjang.

Naskah berjudul Kerangka Konsep Penulisan “Sejarah Indonesia” itu berlogo Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia, dengan bubuhan keterangan Draft masih dalam penyempurnaan 16 Januari 2025 di sudut kanan atasnya.

Dokumen ini mulai beredar di kalangan wartawan, termasuk ABC Indonesia, dan sejumlah WhatsApp Group, menyusul kabar yang belakangan santer kalau Kementerian Kebudayaan sedang menggarap proyek untuk merevisi sejarah Indonesia.

Penyusunan revisi sejarah Indonesia ini dibenarkan oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon dalam wawancaranya dengan tvOne pada 9 Mei lalu.

“Ada temuan-temuan baru yang perlu di-update, misalnya mulai dari masa prasejarah … lukisan purba yang tertua dari 52.000 tahun yang lalu ada di Indonesia di gua leang-leang di Sulawesi,” kata Fadli Zon.

“Dan kalau sejarah Indonesia dijajah 350 tahun, kan tidak seluruh wilayah Indonesia yang dulunya kesultanan dan kerajaan itu dijajah 350 tahun,” timpalnya.

Ia juga menyebut pemutakhiran sejarah Indonesia yang sedang ditulis saat ini nantinya akan menjadi “official history” yang menjadi hadiah ulang tahun kemerdekaan ke-80 Indonesia.

“Sebenarnya ini up-dated version gitu ya, jadi ada yang ditambah mungkin, tergantung para sejarawan,” tambahnya.

“Ada yang ditambah, tapi ada yang dikurangi enggak?” tanya jurnalis tvOne, Dwi Anggia.

“Belum tahu, ini saya juga belum lihat [draft naskahnya],” jawab Fadli Zon.

Sejarah1

Dokumen yang beredar yang berhasil didapatkan oleh ABC Indonesia.

Jika rujukan dari sejarah resmi Indonesia yang sedang ditulis ulang itu adalah naskah yang sedang beredar, maka sesuai isi naskah, sejarah Indonesia yang resmi nantinya akan terdiri dari 10 jilid.

Jumlah bab tiap jilidnya bervariasi, yang terpendek (Jilid 2, Jilid 8) sebanyak empat bab dan yang terpanjang (Jilid 9) delapan bab.

Dari dokumen tersebut, ABC Indonesia menemukan setidaknya satu kejanggalan, jika dibandingkan dengan buku teks sejarah untuk kelas XII Kurikulum Merdeka edisi revisi 2018, yang bisa diunduh di laman Kemdikbud.

Kejanggalan soal sejarah reformasi

Jilid 9 draf naskah Kerangka Konsep Penulisan “Sejarah Indonesia” berjudul Orde Baru dengan rentang waktu 1976-1998.

Di dalamnya ada delapan bab: lahirnya Orde Baru; pembangunan ekonomi, pembangunan demokrasi pancasila; pendidikan; pembangunan dan perubahan sosial; wawasan nusantara dan NKRI; reaksi terhadap pembangunan; dan kebudayaan.

Di dalam bab ketujuh tentang reaksi terhadap pembangunan, hanya tercantum dua peristiwa, yaitu peristiwa Tanjung Priok 1984 dan peristiwa Talangsari Lampung 1989, lalu berhenti sampai di situ.

Sementara bab 8 yang menjadi bab penutup jilid 9 berisi kongres kebudayaan, festival film Indonesia, sastra, seni, pers, dan media massa.

Jadi, tidak ada sejarah tentang krisis moneter 1997, tentang aksi mahasiswa, tentang tuntutan dan agenda reformasi, atau peristiwa kerusuhan anti-China dan turunnya Suharto pada 1998, seperti yang bisa ditemukan pada buku sejarah yang sekarang dipakai di sekolah-sekolah.

ABC Indonesia kemudian mengecek isi Jilid 10, menduga bab yang hilang itu mungkin ada di sana.

Tapi Jilid 10 dalam draf naskah tersebut dimulai dengan pemerintahan B.J Habibie pada tahun 1999.

Fadli Zon

Menteri Kebudayaan Fadli Zon membenarkan kementeriannya sedang mengerjakan up-dated version Sejarah Indonesia. (Foto: Tangkapan Layar tvOne/ One on One bersama Anggia)

‘Gesekan’ di dalam tim penulis

Ada seratus sejarawan yang terlibat dalam proyek ini, tapi menurut sumber ABC Indonesia, yang tidak ingin diidentifikasi, terjadi “gesekan” di antara tim penulis karena konflik teori.

“Ada profesor yang keluar karena proyek ini menggunakan istilah ‘sejarah awal’ dan bukan prasejarah, padahal prasejarah adalah nomenklatur keilmuan, satu definisi dan term keilmuan yang sudah disepakati secara universal,” tutur sumber kami.

“Jadi kalau diganti sejarah awal, maksudnya apa? Asal-usul manusia terjadi atau bagaimana? Bagaimana nulisnya?” tutur sumber kami.

“Ada juga profesor yang keluar karena disuruh menulis tentang Jokowi, tentang bab IKN, padahal ia adalah ahli kolonial … ya dia enggak maulah, dia bilang ‘IKN-nya juga belum jadi, masa mau ditulis’ gitu.”

ABC Indonesia berusaha mengonfirmasi kepada kedua profesor yang disebut keluar itu, namun mereka belum berkomentar.

Dan polemiknya terus bergulir.

Upaya memanipulasi sejarah

Pada Senin (20/05) lalu sejumlah sejarawan dan aktivis hak asasi manusia yang tergabung dalam Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) mendatangi Komisi X DPR RI untuk menyampaikan penolakan mereka atas revisi sejarah Indonesia itu.

Tergabung dalam aliansi tersebut antara lain sejarawan senior Asvi Warman Adam, mantan jaksa agung dan pengacara hak asasi manusia Marzuki Darusman, aktivis perempuan Ita Fatia Nadia, dan Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia, Profesor Sulistyowati Irianto.

Marzuki Darusman dan Asvi Warman Adam

Ketua Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia Marzuki Darusman (kanan) dan sejarawan senior, Asvi Warman Adam (kiri), di gedung DPR saat Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi X. (Foto: Tempo/Ervana)

Ada dua argumen utama yang menjadi dasar penolakan AKSI.

Yang pertama adalah pemakaian istilah “sejarah resmi” yang dinilai bermasalah.

“Tafsir tunggal itu, dalam kaitan dengan sejarah resmi atau sejarah formal, berpretensi memiliki kata akhir yang final mengenai segala sesuatu yang bersangkutan dengan sejarah itu,” ujar Marzuki Darusman.

Dan tafsir tunggal inilah yang nantinya akan menjadi dasar dan panduan pengajaran sejarah di sekolah-sekolah.

“Siapa yang memberi hak kepada pemerintah untuk mengambil alih kuasa menyatakan kata akhir mengenai identitas kita?” tambah Marzuki.

“Bagi kami yang lebih prinsipil adalah layak atau tidak pemerintah menulis sejarah dengan implikasi bahwa itu merupakan tafsir tunggal dan kata akhir mengenai siapa kita, satu demi satu sebagai bangsa ini … dan layaknya [yang diketahui] dari pengetahuan umum, hanya negara-negara dengan sistem yang total restriktif yang melakukan hal itu.”

Asvi dan Ita

Ita Fatia Nadia dan Asvi Warman Adam saat memberikan pendapatnya di Komisi X DPR RI. (Foto: Tangkapan layar siaran langsung TV Parlemen)

Argumen yang kedua menurut AKSI adalah sejarah yang disusun pemerintah dalam pemutakhiran merupakan “sejarah yang selektif” dan “manipulasi sejarah” karena ada sejumlah peristiwa sejarah yang tidak ditemukan dalam draf yang beredar.

“Kami memperoleh kerangka konsep penulisan Sejarah Indonesia yang dibuat oleh Kementerian Kebudayaan RI yang dirumuskan oleh tiga tim perumus, Susanto Zuhdi, Singgih Tri Sulistiyono, dan Jajat Burhanudin, yang dibuat pada 16 Januari 2025, … kami menggolongkannya sebagai manipulasi sejarah,” tutur Asvi Marwan Adam.

“Pada intinya, manipulasi sejarah adalah menulis sejarah dengan hanya mengambil hal-hal yang menguntungkan suatu rezim, dan hal-hal yang negatif, yang merugikan, dihilangkan atau ditutupi atau digelapkan, dan kami melihat itu dalam konsep yang dibuat,” jelas Asvi.

Ia kemudian mencontohkan 12 kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat selama Orde Baru dan era Reformasi, yang sudah diakui oleh negara seperti yang disampaikan Presiden Joko Widodo pada 2023, tidak dibahas secara lengkap di dalam rencana penulisan itu.

Selain kasus pelanggaran HAM, sejumlah peristiwa penting seperti Kongres Perempuan 1928, Konferensi Asia Afrika 1955 , penyelenggaraan Asian Games 1962 dan Ganefo (the Games of the New Emerging Forces) 1963 di mana Indonesia menjadi tuan rumahnya juga tidak dimuat di dalam rancangan tersebut.

Kongres Perempuan

Suasana Kongres Perempuan pertama di Yogyakarta. (Foto: Historia/ Repro ’80 Tahun Kowani’)

Menurutnya polemik berapa lama Indonesia dijajah Belanda sudah terjawab dengan buku Indonesia’s History between the Myths karya Gertrudes Johan Resink yang terbit tahun 1968.

“Cukup dengan mencetak ulang buku Resink yang sudah membantahnya, tidak perlu lagi proyek yang memakan biaya,” kata Asvi.

“Akan mubazir jika cuma untuk hal itu dibuat suatu proyek yang melibatkan sedemikian banyak orang, tapi tujuannya lagi-lagi hanya untuk memberikan legitimasi pada rezim yang sedang berkuasa,” tambahnya.

DPR akan memanggil Kemenbud

Salah satu anggota Komisi X DPR yang beraudiensi dengan para aktivis dan sejarawan adalah Bonnie Triyana.

Sebelum bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan berkantor di Senayan, Bonnie adalah sejarawan, kurator, dan pendiri majalah Historia.

Bonnie Triyana

Sejarawan dan Anggota Komisi X DPR RI Bonnie Triyana menganggap pengerjaan penulisan sejarah Indonesia ini terburu-buru. (Foto: Koleksi Pribadi)

Kepada ABC Indonesia Bonnie mengatakan Komisi X memahami aspirasi aliansi masyarakat dan akan segera memanggil Kementerian Kebudayaan untuk menjelaskan proyek penulisan buku panduan atau pegangan sejarah ini, yang dijadwalkan pada 26 Mei mendatang.

“DPR dalam kesimpulan [RDPU] kemarin meminta Kemenbud untuk tidak menggunakan istilah sejarah resmi … kami juga menyoroti proses [perumusan dan penulisan]nya,” kata Bonnie.

“Harusnya ini dilakukan secara terbuka dan transparan, itu yang kita minta dari kementerian, dan nanti kita akan panggil, kita sudah katakan mereka secepatnya harus klarifikasi karena tidak pernah ada informasi khusus pada Komisi X tentang rencana ini.”

Bonnie menilai, untuk proyek sebesar ini selayaknya dilakukan uji publik atau seminar dan kongres yang terbuka dan melibatkan semua sejarawan dan akademisi, bukan berdasarkan proyek pesanan.

“Jangan-jangan karena mengejar waktu [selesai 17 Agustus 2025], karena by order, prosesnya seperti ini, tidak transparan.”

Dalam kapasitasnya sebagai sejarawan, selain merasa proyek ini dilakukan dengan terburu-buru, Bonnie juga menyoroti setidaknya dua masalah.

“Yang masih belum jelas adalah apakah ini revisi atas buku sebelumnya, ‘Indonesia Dalam Arus Sejarah’ (IDAS), atau buku baru?”

“Yang kedua, kalau kita lihat dari metodologi penentuan momen-momen sejarah penting, itu juga bermasalah,” kata Bonnie.

 “Contohnya peristiwa pelanggaran HAM cuma dua, terus yang lain ke mana? Lalu di IDAS, yang tercantum adalah ‘G30S’ karena berbagai riset sejarah telah membuktikan [penyebabnya] ini multifaktor, tapi di draft ini pakai istilah lama lagi, PKI.”

Bonnie mengatakan selain masalah proses, pertanyaan-pertanyaan seputar subyektivitas tim dalam pemilihan momen-momen sejarah ini nanti juga perlu dijelaskan secara metodologis.

Related Posts

Pembobol Rekening Incar Pensiunan ASN, DPO Jaringan Pelaku Ada di Kamboja

Jakarta – Kasus kejahatan siber kembali mengguncang dunia perbankan nasional. Sekelompok pelaku pembobolan rekening dilaporkan mengincar para pensiunan Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagai target utama. Ironisnya, dalang di balik aksi…

5 Gugatan UU TNI Tak Diterima MK, Ini Alasannya

Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak lima gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). Penolakan ini menegaskan bahwa pasal-pasal yang dipersoalkan para pemohon tetap…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *